Membiasakan Yang Benar atau Membenarkan Yang Biasa?

9:15:00 AM

source: google pict
Bismillaah... 

Saya adalah seorang guru di TK B, tingkat tertinggi di kelompok PGTK tempat sekolah saya mengajar. Itu artinya setiap tahunnya saya harus mendampingi anak - anak kelompok saya untuk siap transisi dan akhirnya pindah ke atmosfir pendidikan yang berbeda: SD.

Kenapa saya menyebutnya dengan "atmosfir pendidikan yang berbeda"? Ya, karena memang hampir seluruh kegiatan mereka akan berubah dengan apa yang mereka lakukan sebelumnya. Jika di PGTK mereka belajar melalui main, maka di SD mereka perlahan - lahan akan mulai belajar melalui kerja / proyek. Walaupun untuk SD kelas 1 porsi mainnya tetap ada dan hanya diperkecil saja dengan perbandingan 70 : 30 untuk kerja berbanding main, tetapi mereka pasti merasakan perbedaan dengan sebelumnya.

Di SD mereka juga akan berinteraksi dengan kakak - kakak kelas yang lebih besar yang pastinya kemampuan dan tahap perkembangan mereka paling tidak beberapa langkah di depan adik - adiknya yang baru kelas 1. Potensi munculnya konflik akan semakin kompleks, apalagi jika mengingat kemampuan mereka berbicara, mengutarakan dan mempertahankan pendapat mereka yang sudah meningkat. Hal tersebut mengingatkan saya kepada salah satu anak murid saya.

Sebut saja nama murid saya ini Rama. Rama menjadi anak yang ikut program transisi ke SD tahun ini. Rama adalah anak yang cukup unik. Perawakan Rama agak gembul, yang membuat orang - orang dewasa di sekitarnya pasti ingin menggodanya karena gemas. Caranya tertawa juga lepas sekali, membuat orang yang mendengarnya ingin ikut tertawa juga. Terkadang Rama juga membuat guru - guru di sekolah gagal menahan senyum dengan tingkah lakunya yang di luar prediksi. 


Ibunda Rama adalah wanita karir, ayahnya bekerja di pulau yang berbeda dengan Rama dan Ibundanya, jadi tidak setiap hari bertemu dengan Rama. Seperti kebanyakan masalah anak - anak zaman sekarang, Rama pun bersahabat dengan gadget. Setiap hari sepulang sekolah Rama akan ikut Ibundanya ke kantor. Sementara ibunya bekerja, dia berteman dengan gadget. Dia berinteraksi dengan tokoh - tokoh yang ada di game kesukaannya: Angry Bird. 


Semua hasil dari pengalamannya bermain game Angry Bird terlihat jelas pada bahasa natural yang ditampilkannya di sekolah. Ceritanya kepada teman - teman atau guru - gurunya selalu tentang angry bird. Jurnalnya juga tentang Angry Bird yang sedang menghancurkan sesuatu. Main pembangunan apapun; magnatiles, konektor, lego, atau apapun, dia akan berpura - pura mainan itu seperti Angry Bird yang sedang berusaha menghancurkan markas babi, musuh si Angry Bird. Ada satu tokoh Angry Bird yang tidak pernah luput dari ceritanya, Angry Bird yang berwarna hitam, Si Bom. :'(


Alhasil, tahap perkemabangan Rama sedikit mengkhawatirkan. Materi - ,materi tema tidak tersalurkan dan ditangkap baik oleh Rama. Kosa kata - kosa kata yang bisa memperluas wawasannya pun tidak bertambah dengan baik. Kemampuan bersosialisasi dengan temannya juga mengkhawatirkan. Dia sering terlihat sibuk dengan dunianya sendiri, tidak memperhatikan apa yang terjadi di sekelilingnya.


Akhirnya, saya berkesempatan bicara dengan ibundanya. Alhamdulillah, ibunda Rama adalah seorang wanita karir cerdas yang mau membuka fikirannya untuk hal - hal yang baru dan make sense. Setelah berdiskusi panjang lebar, kami sepakat bahwa masalah utama Rama adalah kecanduannya terhadap gadget dan seluruh game yang ada di dalamnya. Ibunda Rama berjanji kepada saya akan berusaha memisahkan gadget dari anaknya dan menggantinya dengan mengajak bermain permainan - permainan psikomotorik yang lebih real seperti naik sepeda, berenang, dsb.

Alhamdulillaah....berkat kerja keras Ibunda Rama untuk memisahkan anaknya dari gadget, tahap perkembangan ananda mulai menunjukkan grafik naik yang sangat drastis. Cara Rama berkomunikasi sudah semakin sering menunjukkan 2 arah. Kosakatanya pun banyak berkembang. Jurnal yang ditulisnya lebih bervariatif, menceritakan pengalaman - pengalamannya sehari - hari. Interaksinya dengan teman -  temannya semakin membaik, konflik yang terjadi anatara dirinya dengan temanya mulai berkurang. Dan Rama jadi menyukai kegiatan fisik seperti berlari, main bola, main bulu tangkis, melompat, panjat tali dsb. Sejauh yang saya lihat, Rama lebih bahagia dan tawanya justru semakin lepas dan yang paling penting bermakna.


Selama proses transisi ini, saya mengamati bahwa semua developmental focus yang ada pada seluruh domain ananda Rama mengalami peningkatan yang menunjukkan semakin siap untuk bergabung di SD, kecuali dua hal: social skill dan persepsi. Seringkali saya dapati Rama memiliki konflik dengan teman - temannya karena dia kurang tepat memahami situasi yang terjadi di antara dirinya dan teman - temannya. Contoh, ketika saatnya main di luar ruangan, dia berlama - lama memakai alas kaki dan akibatnya dia menjadi orang terakhir yang keluar, alih - alih dia menyadari dirinya kurang gesit, dia justru marah ke teman - temannya karena menganggap teman - temannya jahat sudah meninggalkannya. Di waktu yang lain, dia akan marah kepada teman yang sedang main di sebelahnya saat bangunan dari balok yang dibangunnya hancur. Dia beranggapan bahwa bangunannya hancur karena teman yang ada di sebelahnya itu, padahal yang terjadi sebenarnya adalah Rama sendiri yang tidak sengaja menggeser alas balok tempatnya membangun, akibatnya balok - balok tersebut berjatuhan. Masih banyak lagi contoh yang lain.


Jadi, saya bertemu lagi dengan Ibundanya untuk membahas hal tsb. Alhamdulillah Ibunda Rama tetap berfikiran terbuka dan tidak marah dengan fakta yang saya sampaikan tentang anaknya. Ibundanya justru meminta saran tentang apa yang harus beliau lakukan untuk memperbaiki persepsi anaknya tersebut. Hal yang bisa saya katakan saat itu adalah bahwa kita harus selalu berusaha menyampaikan fakta dan sudut pandang yang benar kepada anak terhadap apapun yang terjadi sehari - hari di sekitarnya. Misalnya, jika dia jatuh karena berlari dalam ruangan dan menabrak meja, kebanyakan ibu - ibu di Indonesia akan mengatakan di hadapan anaknya, "Siapa yang nakal nak? mejanya ya? sini biar mama pukul mejanya!" Sadar atau tidak sadar, itu adalah contoh menanamkan konsep / persepsi yang tidak benar kepada anak - anak kita. Apakah ada meja yang nakal, yang bermaksud mencelakakan manusia? Tidak ada. Daripada mengatakan hal itu, kita bisa bilang. "Iya nak, Rama belajar, bahwa banyak benda - benda dan orang di dalam ruangan, jadi sangat tidak aman kalau berlari, bisa menabrak. Lain kali Rama bisa mencoba lebih hati - hati dengan cara berjalan di dalam ruangan".


Memang tidak mudah menyampaikan kebenaran yang tidak sejalan dengan kebiasaan. Sangat sulit sekalipun kepada orang - orang terdekat kita. Seperti yang dialami teman saya ini. Teman saya ini sudah belajar tentang pendidikan anak usia dini dan sudah paham betul tentang penanaman konsep yang benar terhadap anak - anak. Suatu hari, ia berkunjung ke tempat saudaranya yang baru saja melahirkan anak keduanya. Saat melihat si bayi, sang kakak datang kepada ibunya dan bertanya, "Ma, adek bayi datangnya dari mana?" seketika ibunya tertawa kemudian berkata "Dari mulutku, Nak. Tadi Ibu muntahkan...hahahaha", kemudian, anaknya berkata "Ooohh...".


Sekilas hal tersebut wajar di Indonesia, menganggap bahwa pertanyaan yang dilontarkan anak kecil dan dianggap tabu akan dijawab sekenanya oleh orang dewasa di sekitar mereka dengan jawaban - jawaban aneh bin tidak masuk akal dan hal itu lucu menurut mereka. Heloooooo...... tapi bagaimana kalau "Ooohh" - nya si anak bermakna dia benar - benar mempercayai hal tersebut dan menjadi konsep yang melekat di fikirannya? Anak - anak akan mudah percaya begitu saja karena mereka memang belum mendapat penetahuan tentang hal itu untuk menyaring mana informasi yang benar dan yang salah. Teman saya berkata dia geregetan, mau mengingatkan yang benar takut dikira "sok-sok an", mau didiamkan saja dia tau itu tidak benar...apalagi saat itu status teman saya belum memiliki anak, apalah arti pendapat bocah untuk orang yang sudah makan asam garam punya anak?.

Mendengar cerita teman saya itu, teman saya yang lain menimpali, "iya,,,dulu ibuku bilang adekku lahir dari jempol kakiny ibuku, Ms....dan saya percaya lho sampai umur 5 tahun".

Mungkin ada yang akan berkata, "Aahhh...jangan serius - serius amat lah piiihh....toh, nanti kalau sudah besar mereka tau sendiri mana yang benar dan mana yang hanya becanda saja, main - main....". Ya, mungkin, jika mereka melewati proses belajar yang benar, suatu hari nanti mereka akan belajar hal yang sebenarnya darimana adik bayi itu berasal. Tapi, bukankah dengan melakukan itu kita sedang menanamkan kepada anak konsep yang salah tentang kejujuran? bahwa boleh - boleh saja kita berbohong, asalkan itu hal yang lucu. Kalau memang demikian, jangan tanyakan kepada anak kita kelak, "Siapa yang ajarin kamu bohong?!" saat dia berkata yang tidak benar. Sesungguhnya, kitalah yang memodelkannya kepada mereka.

Kita bisa sampaikan hal yang sebenarnya menggunakan bahasa yang sangat sederhana sesuai dengan tahap perkembangan anak kita dalam memahami kata - kata. Jika memang belum bisa demikian, boleh jujur saja bahwa Ayah - Bunda belum bisa menjelaskannya sekarang, nanti jika usiamu sudah lebih besar, kamu bisa mempelajari darimana adik bayi berasal. Bukannkah disitu anak - anak kita belajar tentang konsep kejujuran yang benar? Dan siapa tau, anak kita akan mengalami hal - hal yang dialami oleh Rama murid saya tersebut. Bukankah kita tidak mau anak kita mengalami kesulitan berfikir logis di masa depannya? Kalau begitu, mari kita membiasakan yang benar untuk anak - anak kita, bukan membenarkan yang biasa.

Wallahu 'alam

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook