Menuju Kelas Narasi: Storytelling, Media, Dan Literasi

10:26:00 PM

(Terjemahan dari artikel "Toward a Narrative Classroom: Storytelling, Media, and Literacy" di majalah YC- Young Children, NAEYC edisi September 2016 yang pernah dishare di SAB, terjemah oleh Rapi Bestari) 

(Oleh: Kristin Nicole Rainville dan Bill Gordh)

Sepanjang hari kita terlibat dalam cerita, apakah kita sebagai pembawa cerita, pendengar yang aktif, atau peserta. Cerita yang kuat terjalin di sepanjang hidup kita seperti saat kita terhubunng dengan social media, menyalakan televise, berkomunikasi dengan keluarga dan teman kita, dan berkolaborasi dengan kolega – kolega kita. Storytelling dan Digital storytelling memainkan peran yang sangat besar pada kehidupan abad 21 – pada organisasi – organisasi, bisnis, pendidikan, politic, keluarga - keluarga, komunitas – komunitas, dan lebih jauh – tepat secara alamiahdengan kelas – kelas anak usia dini.

Storytelling membangun komunitas di kelas anak usia dini dan memungkinkan guru – guru untuk mempelajari tentang perbedaan – perbedaan linguistic dan latar belakang budaya murid – muridnya. Hal ini bisa menjadi ‘jendela’ kehidupan anak – anak di luar sekolah dan memungkinkan guru mempelajari bagaimana komunikasi dihargai pada komunitas – komunitas anak – anak. Storytelling dijumpai di seluruh budaya – Storytelling digunakan untuk mempertahankan tradisi – tradisi budaya, menghibur berbagai macam kelompok usia, dan mendidik anggota lain tentang kelompok budaya. Para pendidik anak – anak usia dini dapat memanfaatkan pengalaman social – emosional yang kuat ini untuk membantu perkembangan bahasa lisan, mengajar dan meningkatkan kemampuan literasi anak – anak usia dini, dan membangun kesadaran budaya. Kelas – kelas anak usia dini yang memahami pentingnya cerita dalam membantu anak – anak membuat dan mendefinisikan dunia mereka, dan kelas – kelas yang menggunakan cerita dan Storytelling sebagai pusat dari kehidupan sehari – hari mereka, adalah ruang yang kita beri nama “Kelas Narasi”. Ini adalah cerita tentang cerita – cerita di dalam kelas narasi.

Storytelling : Pusat dari Kelas Narasi

Pembelajaran adalah sesuatu yang bersifat social – khususnya di kelas – kelas anak usia dini. Saat anak usai dini bermain, mereka membangun narasi (baik secara verbal ataupun melalui gesture), seringkali termasuk karakter dan emosi – emosi, menciptakan situasi khayalan yang objek – objek di dalamnya dapat di khayalkan ulang dan dibuat ulang. Terdapat hubungan yang dekat antara membuat cerita saat bermain dengan menceritakan atau menampilkan cerita.di dalam kelas narasi, terdapat ruang untuk bermain dan Storytelling, keduanya dibingkai sebagai esensi berbahsa dan latihan literasi.

Di dalam kelas Ms. Nieto, TK A, anak – anak sibuk bermain sentra. Empat anak sedang membangun kota menggunakan balok – balok. Dengan menggunakan kostum rompi konstruksi berwarna jingga terang dan topi keras berwarna kuning, anak – anak bernegosiasi merancang kota sambil berkolaborasi membuat cerita “ Jalanannya harus pergi kesini”, kata Jasmine, menunjukan gesture dan menunjuk ketika menjabarkan rancangannya sambil membuat alur cerita, “atau bagaimana lagi keluarga akan pergi ke sekolah dan kantor?”. Di meja puzzle Ellie sedang menyusun puzzle yang menunjukan foto anak – anak. Ketika ia bekerja, dia membaut cerita tentang anak – anak yang ada di dalam gambar “Lihat anak perempuan ini, dia baru saja memenangkan permainan sepak bola. Timnya harus bekerja sangat keras bersama – sama, dan dialah pencetak golnya.” 

Cerita – cerita ini dibuat berdasarkan pengalaman – pengalaman langsung anak dan membantu mereka menyadari tempat mereka di dunia ini. Melalui pengamatan dan pendengaran yang seksama, guru seperti Ms Nieto dapat mempelajari tentang bagaimana kehidupan anak – anak di luar sekolah dan mempergunakan kesempatan dari cerita – cerita dan pengalaman – pengalaman tersebut untuk menginformasikan pembelajaran mereka sepanjang hari.

Masuklah ke kelas anak – anak usia dini manapun, maka anak – anak akan mengantri untuk menceritakan cerita mereka kepadamu. Ini adalah kecenderungan yang alamiah bahwa membagi cerita kita dapat ditenun menjadi kain satu hari dan menuju kurikulum Storytelling yang lebih dalam lagi. Circle time, saat transisi, dan penutupan hari itu semuanya adalah potongan – potongan waktu ketika Storytelling dapat dipelihara. Penggunaan perspektif narasi dapat menjadi kebiasaan sehari – hari yang akan menuai keuntungan yang sangat besar.

Storytelling Untuk Membangun Bahasa Lisan

Anak – anak datang ke sekolah kami dengan berbagai macam pengalaman, mereka telah bersosialisasi dengan bahasa yang digunakan di keluarga yang berbeda, dengan sumber dan tantangan sosio-ekonomi yang berbeda pula. Perbedaan – perbedaan yang normal ini dapat dilihat sebagai masalah di dalam kelas; bagaimanapun seperti yang dikemukakan Delpit, anak – anak dapat terus membangun bahasa lisan mereka ketika mereka diberikan kesempatan kurikuler untuk membangun pada apa yang mereka ketahui. Storytelling menawarkan kesempatan yang sangat besar kepada para pendidik anak – anak usia dini untuk meningkatkan kelancaran lisan dan ekspresi anak – anak sebaik memperluas kosa kata mereka.

Banyak sekolah yang dikunjungi* Bill (salah satu penulis) memiliki banyak kelas yang beraneka ragam dengan banyak pembelajar yang menggunakan bilingual di dalamnya. Pengulangan frase, gestur, music, alat peraga, dan gerakan membantu anak – anak, terutama yang bilingual untuk bisa memahami kata – kata yang tidak familiar dan strategi untuk menarik dan melibatkan seluruh anak – anak di dalam kelas.
Pada bulan Oktober, Bill bekerja dengan anak – anak di macam – macam pre kindergarten (TK A) sampai kelas 1 untuk membuat cerita tentang rumah berhantu, yang memiliki banyak pintu dan setiap pintunya memiliki satu “makhluq” di belakangnya. Mereka berpasangan dan membuat lingkaran, satu makhluq berdiri di belakang temannya yang mempresentasikan pintunya. Orang yang menjadi pintu memegang sebuah instumen perkusi: maracas, tamborin, tongkat ritme – yang dipilih oleh anak – anak untuk menemani penampilan rekannya. Bill menceritakan sebuah cerita, dia bekerja keras hingga sampai ke bagian cerita yang penting ketika dia memasuki rumah yang menyeramkan – hanya untuk mengetahui dimana dirinya berada. Sekarang dia ingin melarikan diri! Bill mendekati pintu pertama, berharap pintu itu akan menuntunnya keluar dari rumah tersebut. Bill dan anak – anak akan berkata “Pintu seperti apa dirimu?” Tariq, anak yang mempresentasikan pintu akan menjabarkan deskripsi: “aku pintu berwarna ungu dengan slime yang mengalir”. Anak – anak akan memanggil serentak “buka pintu!”. Datanglag Edward, si makhluq, mengatakan siapa dirinya dengan suara yang jelas dan menakutkan “Aku adalah laba – laba besar hitam yang berambut” Edward akan merangkak di lantai sementara Tariq menggoyangkan maracas. Bill akan memberi isyarat bahwa sekarang saatnya Edward kembali ke belakang pintu dengan mengatakan “Tutup pintu!”. Ceritanya berlanjut ketika Bill bergerak ke pintu menakutkan selanjutnya.

Selama aktivitas ini, rekan akan mendiskusikan rencana bagian mereka  - menggunakan bahasa dan gerakan untuk menegosiasikan dan member nama makhluq ciptaan mereka, dan menentukan pintu seperti apa dandan  makhluq apa di belakangnya. Diskusi yang energetic dan penuh pemikiran ini dibangun di atas apa yang anak – anak sudah tau tentang hal – hal yang menakutkan dan karakter – karakter yang berpotensi menakutkan sambil menambahkan kepada pengetahuan mereka yang sudah ada ketika dengan menunjukkannya melalui kata – kata, gerakan – gerakan, dan gambar dari karakter teman – teman kelasnya. Sebagai pencerita utama, sangatlah penting bagi anda untuk memperhatikan para pendengar dengan seksama untuk selalu mengetahui bagaimana perasaan mereka. Jika anda mulai merasakan seorang anak mungkin akan ketakutan, anda dapat mengubah momen menjadi lucu dengan ekspresi wajah, merubah intinasi suara, atau alur ceritanya. Mungkin juga salah satu ide yang bagus adalah dengan menjadikan salah satu anak berpura – pura menjadi seuatu yang tidak menakutkan seperti kupu –kupu atau peri, bersembunyi di belakang pintu.

Anda tidak perlu menjadi pendongen ulung untuk mengintegrasikan storytelling ke dalam kurikulum. Anda mungkin akan merasa tidak nyaman pada awalnya, namun ketika anda melihat anak – anak tertarik secara aktif dan mendukung dengan antusias cerita yang anda bagikan, anda akan segera merasa nyaman.

Cerita – cerita lisan adalah tulisan – tulisan. Seperti misalnya kita mulai mengajar strategi komperhensi anak – anak. Melalui ketertarikan aktif pada cerita, anak – anak membangun sense narasi, membuat prediksi, kejadian – kejadian berurutan, dan sadar akan sebab – akibat. Guru dapat mencontohkan strategi komperhensi dan member pijakan untuk memantau pemahaman mereka, membuat hubungan, membayangkan, menyimpulkan hal – hal yang penting. Orang yang bercerita menggunakan gesture, intonasi, dan pergerakan wajah dan muka untuk membantu para pendengar mengerti ceritanya. Menceritakan ulang cerita membuat anak – anak menjadi familiar dengannya. Menyaring atau memperbaharui pemahaman mereka dan mendapatkan ide – ide baru. Isbell dan rekan – rekannya menemukan anak – anak yang dibacakan cerita dengan demonstrasi akan memiliki kemampuan yang lebih kuat dari pada anak – anak yang membaca cerita. Pemahaman anak – anak semakin mendalam ketika mereka memiliki kesempatan untuk berfikir ulang dan membentuk ulang ceritanya termasuk detil – detil di dalamnya. Anak – anak dapat menceritakan kembali kepada rekan atau di dalam lingkartan kelompok bergiliran, atau mereka dapat memperagakannya. Semua tekhnik tersebut mendukung pemahaman anak dan memberikan mereka kesempatan untuk mengartikulasikan apa yang sudah ada di diri mereka.

Mulai Bercerita

  • Pilihlah cerita rakyat yang Anda suka. Cerita rakyat biasanya terstruktur lebih baik yang membuat mereka mudah untuk diingat dan sempurna untuk membangun pengalaman interaktif dengan anak – anak.
  • Gunakan frase dan gestur yang berulang. Anak – anak kecil akan lebih mengingat cerita dan lebih tertarik jika dia menjadi pendengar yang terhubung, pembicara, dan pembuat gerakan saat cerita dibawakan.
  • Sampaikan ceritanya menggunakan kata – kata Anda sendiri. Anak – anak terbiasa mendengar Anda berbicara. Hafalkan ceritanya dan sampaikan kata demi kata dengan cara Anda akan membawa Anda mendapatkan komunikasi yang sebenarnya dengan anak – anak. Anda dapat membawakan cerita yang sama dengan banyak cara yang berbeda tergantung kepada pendengar dan waktu yang Anda miliki.
  • Gunakan rangka cerita. Buatlah poin – poin kesimpulan urutan cerita atau gunakan gambar. Letakkan kerangka cerita di dinding sebagai referensi saat Anda menceritakan cerita tersebut. Jika Anda menggunakan gambar sebagai kerangka, jangan terkejut jika anak – anak menggunakan gambar – gambarnya kemudian untuk menceritakan ulang cerita rakyat tersebut.
  • Singkat saat baru mulai. Buatlah diri Anda nyaman terlebih dahulu sebelum mencurahkan waktu yang banyak di dalam kelas. Anda mungkin mau membaca sebuah buku dan menceritakan kepada mereka cerita pendek. Jika Anda melakukan hal tersebut, gunakanlah kursi pendongen – hal tersebut akan memperkuat para pendongeng di masa depan. 

  • Ciptakan kegiatan – kegiatan storytelling. Memerankan cerita yang baru saja mereka dengar mungkin dapat menjadi kegiatan yang mereka sukai. Menceritakan kedua kalinya membuat Anda melihat bagaimana anak – anak memerankan saat Anda yang bernarasi. Semua anak dapat memerankan ceritanya, dengan beberapa anak memerankan bagiannya. Sekali Anda memperkenalkan main peran selama cerita, anak – anak akan meminta untuk bemain peran pada setiap cerita yang Anda bacakan. Kegiatan lain yang bisa dilakukan dari membacakan cerita adalah membuat karya seni, bermain permainan yang disarankan dari struktur cerita, menambahkan akhir cerita baru dan membuat cerita baru sebelum cerita yang dibacakan atau setelahnya.

Storytelling Sebagai Jembatan Untuk Menulis

Anak – anak yang mampu menceritakan cerita sudah menjadi penulis. Dewan Nasional Guru Bahasa Inggris menyatakan bahwa “kenyamanan bercerita secara lisan dapat menjadi jalan bagi murid untuk mencapai cerita yang tertulis” (2) “jika anak – anak usia dini melihat kita menulis kata – kata mereka dan mendengar kita membacakannya, mereka mulai melihat dan mengerti hubungannya. Di kelas narasi, guru – guru memberikan murid – muridnya kesempatan untuk menulis cerita yang diceritakan oleh guru dan anak – anak. Guru- guru yang berbagi cerita, dan kemudian menyemangati anak – anak untuk menceritakan kisah mereka masing – masing dan merekamnya dengan menggambarnya baik secara digital atau di atas kertas, merekalah guru – guru yang sedang menciptakan komunitas kelas yang membingkai mereka menjadi penulis. Ketika anak – anak tertarik dengan cerita – cerita lisan, mereka menciptakan sendiri atau dalam kelompok , menulis cerita di kertas (atau secara digital) menjadi sebuah petualangan. Ide bahwa menulis menyediakan kesempatan daripada tugas – tugas yang harus ditakuti, dapat ditanamkan pada kelas narasi anak – anak usia dini dan akan bermanfaat bagi murid muda pada beberapa tahun mendatang.

Anak – Anak Sebagai Produser: Digital Storytelling 

Anak – anak menunggu dengan tenang Ms. Grimes, guru kelas satu mulai membacakan cerita. Di tangannya ia memegang kura – kura dari kayu. Ms.Grimes memulai “Kura – kura yang sedih berjalan menuruni jalan”. Dengan gesture dan intonasi dia mengajak anak – anak untuk mendekat. “Kemudian….”anak – anak berkata bersama – sama ketika ia memindahkan si kura – kura ke murid di sebelahnya. Tomas, si pendongeng yang baru memegang kura – kura dan menambahkan “kura – kura kecil tidk punya teman untuk diajak bermain”. Ms Grimes membisiki, dan semua orang meneruskan ceritanya “Kemudiaannn….” Tomas memindahkan kura – kura ke tangan Alanna, yang menambahkan “Kemudian kodk melompat dan berkata ‘aku akan jadi temanmu’”. Kura – kura pun melewati seluruh lingkaran dan anak – anak melanjutkan membuat cerita unik mereka tentang petualangan si kura – kura.

Pada saat waktu membaca cerita lainnya, anak yang berbeda dapat memulai cerita kura – kura yang baru. Kura – kura dapat memiliki banyak pengalaman, dengan setiap pengalaman diinisiasikan oleh anak yang berbeda. Ketika anak yang memulai ceritanya, maka yang harus mengakhiri cerita tersebut adalah anak tersebut, mungkin mereka tidak senang terhadap hal - hal yang terjadi sepanjang perjalanannya, dia bisa memperbaikinya dengan ending mereka. Orang yang memulai cerita memiliki hubungan personal dan berbeda dengan cerita tersebut.

Kolaborasi storytelling menciptakan tadisi lisan tersendiri. Cerita – cerita original tersebut dapat ditangkap secara digital menggunakan ipad. Dengan foto si kura – kura kecil dengan berbagai macam posisi, Ms Grimes dapat membuat video menggunakan iMovie dengan anak – anak menarasikan ceritanya ketika kura – kuranya berubah posisi. Pindahkan kura – kura kecil dari anak ke anak. Anak – anak dapat membuat gambar – gambar dan membuat background untuk si kura – kura yang dapat ditambahkan ke dalam film kura – kura.

Contoh dari kelas 1 menunjukkan betapa anak – anak dapat membantu membuat cerita dan memproduksi film dari kreasi lisan mereka. Cerita digital tersebut dapat ditampilkan lagi dan lagi. – seperti pembacaan berulang – ulang dapat mempengaruhi secara positif kelancaran lisan. Pada pernyataan joint position mereka pada tekhnologi dan media interaktif, NAEYC & Fred Roger Centers menekankan pentingnya partisipasi orang dewasa yang mendukung dan aktif dengan penggunaan media digital  dengan anak – anak usia dini pada susunan pendidikan. Proses kolaborasi digital storytelling mendukung anak – anak untuk mulai berfikir seperti produser media dan melihat tulisan multimedia sebagai suatu hal yang dapat mereka ciptakan dendiri. Lebih ajuh lagi, dalam mereposisi anak – anak sebagai produser media, guru membuka cara – cara yang menggunakan banyak peralatan lebih banyak untuk bermacam – macam murid untuk menceritakan cerita – cerita di dalam kelas.

Kesimpulan

Kelas narasi memberikan tempat dimana anak – anak berkembang karena mereka mengenali dan mengartikulasikan cerita mereka sendiri. Cerita – cerita memberikan konteks untuk membangun kemampuan social dan literasi yang akan melayani mereka di seluruh hidup mereka. Storytelling menciptakan keadaan bersama bagi anak – anak untuk mendapatkan pemahaman, bersenang – senang, merayakan keanekaragaman budaya mereka, mengartikulasikan pemikiran dan perasaan mereka dan membangun komunitas dimana mereka semua merasa diterima dan dihargai. Menceritakan cerita – cerita, memperagakan cerita, menciptakan dan mendiskusikan cerita – cerita kesemuanya memperkaya pembelajaran literasi di kelas – kelas anak usia dini. 

Tips untuk Digital Storytelling
  • Jika anda memiliki iPad, gunakanlah. Seperti kebanyakan alat elektronik, semakin sering anda menggunakannya, semakin mudah mereka digunakan.
  • Rekamlah murid yang memperagakan cerita . Anak – anak mempelajari tentang pertunjukkan dengan cara melihat diri mereka sendiri, dan mereka menjadi lebih sadar pada struktur cerita dengan melihat mereka adalah bagian dari cerita tersebut.
  • Ambillah foto saat kegiatan. Anda bisa bilang Freeze!di tengah – tengah aktivitasdan mengambil satu atau beberapa foto murid.masukan foto – foto tersebut ke dalam iMovie dan rekam narasi anak – anak di gambar mereka masing – masing untuk membuat cerita kelas. Anak – anak mendapatkan kemampuan dalam memperhitungkan aksinya sendiri dari membuat dan melihat slide show foto yang bernarasi.
  • Pendekatan iPad. Edarkan iPad berkeliling dengan mikrofon menyala dan rekam cerita anak – anak. Anak – anak akan dapat mendengar cerita mereka., dan menggambar sebuah gambar untuk menemani apa yang telah ia tambahkan pada rekaman itu. Foto hasil karya anak – anak tersebut dan masukan ke dalam iMovie  dengan cerita yang telah direkam. Hasilnya, film cerita dengan slide show yang dibuat oleh anak – anak dapat dilihat lagi dan lagi.
The Power of Three
Kekuatan Tiga ditemukan di banyak (kebanyakan Eropa) semua cerita rakyat dan dongeng (contoh: Goldilocks dan tiga beruang, Tiga Kambing Billy yang kasar, dan Tiga Babi Kecil) dan di banyak lagi buku – buku anak – anak. Cerita – cerita ini seringkali memiliki tiga kejadian yaitu mendirikan konflik, membangun konflik, dan menyelesaikan konflik atau yang mengikuti pola yang familiar ini: sama, sama, berbeda (atau yang Bill biasa pakai adalah no, no, yes!).
Sebuah contoh yang familiar untuk memperkenalkan The Power of Three adalah dengan menceritakan cerita Three Little Pig. Pada cerita ini, tiga anak babi membangun rumah. Yang pertama tidak dapat menahan tiupan serigala, seperti halnya yang kedua yang tidak dapat menahan serangan serigala. Namun demikian, rumah anak babi ketiga dapat bertahan menghadapi percobaan serigala yang berusaha merubuhkannya. Ini adalah pola yang dapat anak – anak identifikasi sebagai “No, No, Yes”. Daripada menginstruksikan anak – anak tentang stuktur ini, lebih baik biarkan mereka menemukannya sendiri melalui pertanyaan – pertanyaan yang Anda berikan setelah menceritakan ceritanya. “Apakah rumah anak babi pertama dapat bertahan?”, anak – anak akan menjawab “No!” kemudian Tanya lagi, “Apakah rumah anak babi kedua dapat bertahan?”, lagi – lagi anak – anak akan menjawab “No!”. Akhirnya tanyakanlah, “Bagaimana dengan rumah anak babi yang ketiga?” “Yes!” anak – anak akan menjawab dengan riang.
Dengan memperkenalkan anak – anak The Power of Three” dan menceritakan cerita – cerita yang mengikuti pola ini, Anda mendukung mereka belajar tentang perbandingan. Ketika anak – anak menjadi familiar dengan struktur tersebut, mereka akan fokus memperdalam pemahaman dibelakang konstruksi tulisan tersebut. Sebagai tambahan, memperkenalkan The Power of Three memperkuat pengenalan pola – pola yang akan anak – anak temukan pada literasi, film, komedi, music, dan format lain sepanjang hidup mereka. Dengan ini, pada gilirannya, membuat anak – anak lebih menyadari struktur pada cerita – cerita dan bagaiamana bagaimana struktur tersebut membantu mereka memahami, membuat prediksi, dan mengingat cerita – cerita.

Berikut ini adalah beberapa buku yang mengandung pola The Power of Three:The Three Little Fish and The Big Bad Shark oleh Ken Geist; ilustrasi oleh Julia Gorton.
Owl Babies oleh Martin Waddell; ilustrasi oleh Patrick Benson
Rumpelstiltskin diceritakan ulang oleh Paul O. Zelinsky

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook